Saat kedua orang itu memasuki ruangan kepala sekolah, aku pun mencoba untuk mencuri dengar pembicaraan mereka dengan menempelkan daun telingaku pada pintu. Samar-samar, hanya terdengar suara kedua cowok yang kutemui tadi pagi.
"Argh! Kenapa orang itu selalu meninggalkan pekerjaannya begitu saja?" keluh pria yang bernama Dash itu.
"Apa boleh buat, dia 'kan sakit. Untuk sementara, kau yang menggantikan posisinya. Lagipula menggantikan jabatan kepala sekolah juga sudah menjadi tugasmu, sebagai direktur sekolah ini." Suara ini, pasti suara Yandrix!
"Ok, ok." Orang itu sepertinya berhenti sejenak untuk memikirkan sesuatu, "hmm... Tentang orang yang menerima beasiswa itu..."
Sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, Yandrix memotongnya, "Oh! Lecy maksudmu?"
'Apa?!' Mendengar namaku disebut, keseimbanganku pun langsung hilang. Tanpa sengaja, aku terjatuh dan tentu saja menimbulkan suara yang keras.
Mendengar suara jatuhku, kedua orang didalam ruangan itu pun berteriak, "siapa disitu?!" dalam waktu yang hampir bersamaan.
'Gawat! Bagaimana ini? Ayo Lecy, pikirkan alasan yang masuk akal!' hanya itu yang bisa kukatakan pada diriku sendiri seraya segera bangkit dari lantai keramik gedung ini. Dari jauh, bisa kudengar langkah kaki yang berjalan mendekat kearah pintu ruang yang ada didepanku. Namun, dalam otakku muncul ide yang aneh tapi tetap harus kulakukan untuk menyelamatkanku dari rasa malu ini.
Segera aku berdiri dan memasang tampang tidak tahu apa-apa. Kurapikan pakaianku yang lumayan berantahan secepat mungkin. Mataku menghadap kearah pintu ruangan dimana kedua cowok itu berada. Pintu kayu bercorak unik itu pun kuketuk pelan. Saat aku yakin mereka berdua mendengar ketukan pintuku, kubuka pintu itu perlahan,"permisi."
Waktu kubuka, ternyata dihadapanku tertampang muka seorang cowok yang tadi pagi kutemui itu. Refleks, aku berjalan menjauh dan menabrak pintu yang sekarang tertutup ini. Pria bermata coklat itu hanya menatapku penuh curiga.
Beberapa detik setelah aku masuk kedalam ruangan yang lumayan lebar itu terasa sangat sunyi. Tak seorang pun mengeluarkan suara. Tiap detik yang berjalan terus menerus bagaikan berjam-jam bagiku. Kukerahkan segenap keberanianku untuk memecah keheningan ini.
Sambil berusaha memasang tampang tersenyum aku mencoba berdiri tegak dan berusaha meraih gagang pintu dibelakangku. "Umm.. Maaf, saya ingin bertemu dengan kepala sekolah. Tapi, tampaknya beliau tidak ada ditempat, ya?"
"Kalau begitu, saya permisi," izinku pada kedua orang diruangan itu seraya membalikan badanku dan membuka pintu. Belum sempat pintu terbuka satu inci pun, sepertinya ada sesuatu yang menahanku untuk membuka pintu lebih lebar lagi. Jantungku pun berdegup kencang. Aku takut sepertinya ucapanku barusan tidak mereka percayai. Dengan takut, aku mencoba meliat kesampingku dan ternyata tangan cowok yang berhadapan denganku tadi menahan pintu supaya aku tidak bisa keluar.
Tiba-tiba dia mendekatkan mukanya padaku sehingga jarak kami mejadi kurang dari semeter. Mata kami saling beradu, yang tentu saja membuat jantungku deg-degan dengan keras. Aku segera memalingkan muka pada tangannya yang menahan pintu itu.
"Tunggu dulu." Suaranya terdengar lebih lembut dibandingkan teriakannya tadi pagi, mungkin karena jarak kami yang dekat ini. "Kau ini..."
"Kamu pasti Leyciena Hadriff, penerima beasiswa sekolah, 'kan?" Yandrix yang masih berdiri dibelakang meja kepala sekolah dan sedang memegang beberapa lembar dokumen itu pun berjalan kearah kami berdua. "Dash, bagaimana?"
Dash, orang yang didepanku itu langsung menarik tangannya dari pintu dan segera berbalik menghadap Yandix, "Ya apa boleh buat. Meskipun lari dari rencana, lakukan saja 'itu' sekarang."
'Hah? Apa maksudnya dengan 'itu'?' Aku yang keheranan hanya bisa terdiam seperti patung.
Yandrix mengeluh, "tapi setidaknya, biarkan dia tahu dulu," dia mengatakannya sambil melihat kearahku dan tentu saja, aku makin heran dengan pembicaraan mereka.
"Tapi itu tugasmu, Andrix!" Tiba-tiba Dash berteriak dengan keras pada Yandix. Entah kenapa raut mukanya yang tadi tampak tenang sekarang terlihat gelisah.
Melihat mereka berdua yang sedang asik mengobrol, aku langsung merasa menyesal untuk masuk keruangan ini. Segera kuputuskan untuk keluar secepatnya dengan diam-diam. Kubalikkan badanku menghadap pintu dan memutar gagangnya. Tampaknya mereka tidak mendengar bunyi yang kusebabkan. Denagn cepat kubuka pintu dan kulangkahkan kakiku keluar dari ruangan ini.
"Kau!" Suara Dash langsung mengagetkanku yang berusahan keluar ini, bahkan sebelum salah satu kakiku menginjakkan lantai. Dia langsung berjalan kearahku dengan penuh amarah. Tentu saja reaksinya membuatku takut, tubuhku tidak bisa digerakkan sama sekali. "Minggir! Kau menghalangi jalanku!" Hanya itu kata-kata terakhirnya sebelum melewatiku begitu saja dan berjalan keluar dengan gayanya yang sok pemimpin.
"Apa-apaan pria itu?! Dasar, tidak tahu sopan santun!" Tanpa sadar, mulutku mengeluarkan cacian pada Dash yang sudah pergi jauh itu, kontan aku segera menutup mulutku saat sadar kalau Yandix-yang katanya sepupunya itu-masih berada diruangan ini.
Dia hanya tersenyum melihat tingkahku yang menurutku sendiri ini sudah tidak sopan. "Maafkan dia ya. Orang itu sepupuku, namanya Dashvylle Frush. Orangnya memang sering begitu kalau sedang gelisah atau malu"
"Malu?" Aku mengulang pernyataan Yandrix tadi dengan nada heran. "Karena apa?"
"Oh, tidak. Hmm, kalau tidak salah, kamu itu yang tadi pagi, 'kan?"
Mendengarnya, mukaku hanya memerah. Aku hanya bisa menunduk malu dan memarahi diriku sendiri.
"Kenalkan dulu, saya-"
"Yandrix Larvyan, 'kan! Aku sudah tahu, tadi aku mendengarnya di-" aku segera menghentikan kata-kataku yang terlalu mencolok ini dan mencoba memalingkan pembicaraan sambil tersenyum, "Ah, tidak apa-apa."
Mukanya hanya tampak keheranan tapi setelah beberapa saat, dia kembali seperti semula, memasang muka tersenyum yang ramah. "Hmm, kalau boleh tahu, ada apa kamu kesini? Oh, iya! Sebelumnya, tidak apa-apa 'kan kalau aku memanggilmu dengan nama kecilmu, Lecy?"
Mendengarnya tiba-tiba berkata seperti itu, jantungku berdetak dengan sangat kencang seperti mau copot. Dengan sekuat tenaga aku mencoba membalasnya, "Ah, tidak apa, kok. Teman-temanku juga memanggilku seperti itu. Lagipula kalau memakai nama lengkap, kedengaran panjang."
"Baiklah! Kalau begitu, kau juga boleh memanggilku dengan nama kecilku, Andrix"
Mukaku langsung memerah, "Eh, hmm.. An..And... Kak Andrix." Ketika sadar aku mengucapkan sesuatu yang aneh, aku langsung menundukan mukaku ke lantai supaya dia tidak bisa melihat mukaku yang semerah tomat ini.
Aku bisa mendengar suara Yandrix yang menahan tawanya dengan menutup rapat mulutnya dengan kepalan tangan kanannya. Sewaktu aku mencoba mengangkat kepalaku untuk melihatnya, wajah tertawanya yang bercahaya itu terpancar. Ternyata dia mempunyai dua lesung pipit yang terlihat jika ia tersenyum lebar seperti sekarang ini.
Yandrix yang segera berhenti tertawa ketika melihatku terpana saat menatap dirinya itu segera membuyarkan lamunanku dengan senyumnya yang ramah. "Kamu tidak perlu formal seperti itu. Cukup Andrix saja"
"Ta..tapi-" celahku gugup.
"Eits, tidak ada tapi-tapian. Teman itu tidak membedakan umur. Atau mungkin, kamu ini tidak menganggapku teman?"
Mendengarnya, aku hanya bisa tertunduk malu. Baru kali ini ada orang yang bisa membuatku seperti ini.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku," lanjutnya tiba-tiba.
Ding...Dong..Ding..Dong...
Namun, belum sempat aku menjawabnya, bel tanda istirahat selesai berbunyi. Jika aku berada disini lebih lama, aku pasti akan dihukum karena terlambat masuk dan aku tidak mau hal itu terjadi. Apalagi untuk hari pertama sekolah seperti ini. Aku pun segera pamit kepada Andrix, dan segera berlari menuju kelasku. Untung saja, guru belum masuk jadi aku terbebas dari hukuman.
Sebelum aku pergi keluar dari kantor kepala sekolah itu, aku masih ingat dengan jelas apa yang dikatakan Yandrix, “Tolong rahasiakan semua yang kamu dengar hari ini, yah!.“ Entah apa maksud dari perkataannya itu, tapi bagaimana pun, aku juga tidak yakin kalau orang aneh seperti Dash bisa menjadi direktur sekolah ini.
***
Ding...Dong..Ding..Dong...
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Guru pun berjalan keluar kelas diiringi dengan siswa yang mengikuti dari belakang. Mereka sepertinya ingin segera pulang dan langsung bermain. Ada beberapa orang yang tinggal dikelas ini, termasuk aku. Mereka sepertinya memang berteman dari awal, kelihatan dari cara mereka saat mengobrol.
Aku berjalan menuju pintu sambil mengucapkan salam pada mereka yang berada didekat pintu. Lorong yang tadinya kelihatan luas menjadi sangat sempit dengan banyaknya kerumuna orang-orang yang berbondong ingin segera pulang. Akhirnya, karena tidak mau berdempet-dempetan dengan kerumunan itu, aku memutuskan untuk menunggu sebentar.
Gedung tempat kelasku berada ini memang letaknya dekat dengan gerbang sekolah, makanya hapir seluruh muridnya memilih keluar melewati gedung kami. Tentu saja, aku juga memastikan kaau keempat sahabatku itu akan melewati lorong ini. Jadi menunggu mereka adalah pilihan yang lebih baik daripada aku memilih keluar sendiri.
Setelah beberapa waktu, orang yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ela, Mika, dan Darren akhirnya muncul dari balik keramaian ini. Dari jauh seprti ini saja, karisma mereka sudah melayang entah kemana, hal ini bisa kelihatan dari puluhan pasang mata yang tertuju pada mereka bertiga yang sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang aneh dan tentu saja membuatku enggan menanyakannya.
"Lama sekali kalian ini," keluhku sewaktu kami berempat berkumpul kembali dan segera menuju gerbang sekolah.
"Maaf, deh. Tapi, biasanya 'kan kau langsung kembali kerumahmu sendiri." Darren membela dirinya dengan menyalahkanku yang sering meniggalkan mereka bertiga dulu.
Memang waktu itu aku salah karena meninggalkan mereka. Tapi itu karena aku memang tidak bisa berlama-lama diluar. Aku juga harus membantu kedua orang tuaku di toko dan ketika jam-jam pulang sekolah seperti ini toko itu jadi ramai pengunjung.
“Pulang ‘duluan’? Kalian ini bagaimana?! Kita ‘kan sudah janjian untuk pergi ke toko es krim yang baru buka didekat sekolahnya Als.” Darren meleraiku dan Ela yang saling mengejek dengan mengingatkan kami akan janji yang kubuat dengan mereka dulu -kalau mereka bisa lulus dan diterima sekolah disini, aku akan mentraktir mereka di kafe yang baru buka dekat sekolah adikku.
“Eh? Aku belum bilang, ya?” Ela memasang wajah terkejut. “Sore ini aku ada pemotretan untuk iklanku yang baru,“ lanjutnya.
"Aku juga tidak bisa. Kalian tahu sendiri bagaimana jadinya kalau aku tidak membantu orang tuaku." Aku juga ikut memberi alasan untuk tidak ikut.
Bukan karena tidak mau mentraktir, tapi Aku dan Ela memang sudah berencana untuk membuat Darren dan Mika berkencan dengan alasan itu, yang mana akibatnya berujung pada kami sendiri. Ela memang mendapat perkerjaan dan aku harus membantu orang tuaku.
Mendengarnya, raut muka Mika langsung tampak kecewa, "yah.. Padalah aku mau mencoba produk spesialnya."
"Ya, sudah. Kalian berdua pergi saja tanpa kami," kata Ela untuk membujuk mereka agar mau berkencan.
"Eh..." Darren langsung canggung mendengar ide Ela.
"Iya, Ela benar! Kalian berdua pergi saja duluan. Kita masih bisa kesana kapan-kapan, 'kan." Aku ikut mendorong mereka untuk pergi. "Darren, masa kau tidak mau menemani Mika kesana?" sambungku sambil melirik Darren yang jadi salah tingkah sendiri.
"Eh, tapi..." kata kedua sahabatku itu bersamaan.
"Sttt. Tidak ada tapi-tapi. Kami pergi dulu, yah! Sampai besok!" potongku.
Aku dan Ela segera berlari menjauhi kedua orang yang mulai memerah itu. Kami hanya melihat mereka dari jauh dan tertawa bersama. Setelah memastikan Mika dan Darren pergi, aku pun pamit dengan Ela untuk segera pulang.
Namun, yang belum pernah kusadari adalah orang-orang yang daritadi memperhatikanku sejak aku menunggu ketiga sahabatku itu sampai aku berpisah dengan Mika dan Darren. Sosok orang yang mengubah hari-hariku untuk selamanya.
To be Continued...
0 comments:
Post a Comment