"Jadi, ketua osis ini salah satu murid kelas spesial?" tiba-tiba suara gadis disampingku menyadarkanku dari lamuan anehku.
"Iya, dari yang kutahu, semua anggota osis itu masuk ke kelas spesial, tanpa peduli tingkatan kelas mereka. Kelas spesial itu katanya juga tempat untuk orang-orang khusus yang berpengaruh didalam sekolah ini. Yang kutahu, kelas itu juga letaknya berbeda dari kategori kelas lainnya," jelas gadis satunya.
Aku terus mengikuti pembicaraan mereka, bukan bermaksud menguping, tapi pembicaraan mereka sepertinya menyenangkan. Mataku tetap tertuju pada podium didepan tapi pikiran dan otakku malah lebih tertuju pada ucapan mereka. Untung saja, Ela dan yang lainnya asik dengan kegiatannya sendiri ditempat duduknya sehingga mereka tidak peduli denganku.
"Lalu?" tanya gadis yang disampingku itu.
"Dari yang kudengar, dia ini keponakan dari direktur sekolah ini. Makanya, dia bisa jadi ketua osis. Dan katanya lagi, adik perempuan dan sepupu laki-lakinya yang seumuran dengan kita itu juga akan masuk kelas spesial tahun ini."
Saat mendengarnya, aku bisa membayangkan siapa sepertinya adik dan sepupu yang dimaksudkan itu. Ya, kedua orang yang tadi pagi memotong kata-kataku. Hatiku langsung jengkel mengingat tingkah cowok (sok) cuek yang mengeluh pada Yandrix tanpa sopan santun itu.
***
"Akhirnya, pidato panjang lebar dari kepsek, ketua osis dan perkenalan guru-guru selesai juga," kata Darren sambil mencoba melenturkan tangannya yang kaku karena diam dari tadi saat kami berlima berjalan menuju ke gedung tempat kelas kami berada.
"Tapi, kita bisa melihat sesuatu yang seru, iya 'kan, Lecy?" kata Ela sambil melirikku dengan senyum setannya.
Mereka kelihatan senang dengan dirku yang sedang menahan malu ini. Bagaimana tidak? Orang yamg menolongku itu orang yang terkenal disekolah ini dan pasti yang melihat kejadian tadi banyak. Entah bagaimana nasibku nanti.
"Sudah, sudah. Ayo, ke kelas!" ajak Mika agar kami mempercepat langka kaki kami.
"Ah... Susah juga ya, kalau beda kelas. Kita jadinya jarang ketemu" keluh Ela yang sepertinya malas untuk masuk kedalam kelasnya.
"Kau ini! Sudah enak bisa masuk kelas E dan sekelas sama Mika! Sudah begitu, kelas E dan S tempat Darren 'kan berdekatan," kataku sambil sedikit menyenggol bahu Ela.
"Kau di I, 'kan, Lecy?" tanya Darren padaku untuk lebih memastikan.
"Iya. Tapi waktu makan siang nanti, kalian di kantin, 'kan? Biar kucarikan tempat dulu. Kelasku 'kan dekat kantin daripada kelas kalian."
Penamaan kelas Ethelburga School ini memang agak berbeda dari sekolah lain. Tiap tingkatan diakhiri dengan huruf-huruf yang menandakan karakteristik dari kelas itu sendiri. E singkatan dari Entertain, yang artinya kelas itu penuh dengan artis-artis atau orang yang masuk dalam dunia entertaiment. S singkatan dari Sportsman, untuk orang-orang yang memiliki kemampuan dibidang olahraga. I untuk Intellect, untuk orang-orang yang mendapatkan prestasi dalam bidang pendidikan. Dan masih banyak lagi kelas lain, seperti R, D, M, B, dan sebagainnya.
Tentu saja aku sudah memperkirakan dari awal kalau kami berlima akan ditempatkan di kelas yang berbeda. Mika dan Ela memang sudah berada didunia entertaiment sejak dulu. Ela yang model dan Mika yang ibunya seorang artis Jepang yang berlevel internasional. Darren yang –katanya- jenius muda dalam semua bidang olahraga. Dan aku, cuma seorang anak yang suka menambah ilmuku sehingga mendapatkan peringkat pertama dalam tes masuk kesini dan mendapat beasiswa.
"Sudah, ya! Sampai ketemu waktu makan siang nanti," seruku pada keempat temanku itu yang pergi kebelahan gedung yang berbeda dengan arah kelasku itu. Tak lama, aku pun bergegas untuk pergi karena bel tanda masuk sepertinya akan berbunyi tidak lama lagi.
***
Ding...Dong..Ding..Dong...
Akhirnya, bel istirahat pun berbunyi. Mejaku yang berada dipojok kelas, yang terpaksa kududuki karena saat aku datang hampir semua tempat penuh dan daripada mengambil bagian paling belakang, lebih baik aku mengambil meja yang bersebelahan dengan jendela yang menghadap kearah pemandangan taman sekolah ini. Siswa laki-laki dan perempuan dikelasku segera pergi menuju kantin sekolah, yang letaknya hanya tiga ruangan dari sini, saat guru keluar kelas. Sedangkan di kelasku tinggal beberapa siswi dan siswa yang sibuk dengan catatan dari guru-guru yang mengajari kami tadi termasuk aku.
Aku berusaha untuk menyelesaikan catatanku secepat mungkin supaya mereka-Ela, Mika, dan Darren- tidak marah saat aku terlambat nanti. Aku jamin, saat ini mereka pasti sudah di kantin. Untung saja mataku tidak bermasalah, jadi untuk melihat apa yang ditulis guru dipapan tulis dari pojokkan seperti ini bukan masalah.
Dalam hitungan menit, akhirnya tulisanku beres juga, meskipun dengan tulisan yang tidak begitu bagus tapi masih bisa kumengerti. Kakiku kulangkahkan dengan cepat melewati koridor kelas yang lumayan ramai ini. Didepan kelas yang kulewati ada beberapa siswa saling bercanda, yang kelihatan sangat akrab. Mataku juga melirik taman bunga yang terhubung dengan koridor ini. Bunga-bunga tampak mulai bermekaran dan beberapa kupu-kupu hinggap diatasnya.
Akhirnya, aku sampai juga dikantin yang ramai ini. Aku berusaha mencari-cari ketiga sahabatku, tapi sepertinya mereka belum sampai. Tapi belum sempat bersyukur sebentar, seseorang menepuk bahuku dan tentu saja, membuatku terkejut.
Aku membalikkan badan untuk menatap orang yang mengejutkanku, "sia-"
"Hey, Lecy! Kau ini kok bengong ditengah jalan begini?" Kata-kata Ela memotong pertanyaanku dan membuatku lega dia itu bukan orang iseng. Ela melihat sekelilingku dan tampak mulai keheranan. "Kau ini kenapa? Jangan-jangan..."
Sontak aku juga ikut keheranan, "jangan-jangan apa?"
Dia hanya tersenyum dan berkata, "ya, jangan-jangan kau ini baru sampai dan belum dapat tempat yang bagus"
Mulutku hanya bisa terbuka tanpa mengeluarkan kata apapun. Tebakannya benar, dan parahnya sepertinya dia merencanakan sesuatu.
"Ayo ke taman! Tapi, kau belum membeli makananmu, 'kan?" tanyanya. Tanpa membiarkanku menjawabnya, ia langsung memotong "Tidak perlu. Kali ini, anggap aku mentraktirmu," dan menarik tanganku pergi dari kantin.
"Hey! ELA!"
Mendengar teriakanku, Ela membalikkan kepalanya "Apa?"
"Mika dan Darren bagaimana? Masa kau meninggalkan mereka?
"Tenang saja, mereka berdua kok yang mengusulkan kita makan ditaman saat aku bilang aku mau mencerikakan legenda sekolah ini."
"Legenda? Legenda apa?" tanyaku heran.
"Sudah, diam saja dan ikuti aku"
Aku hanya bisa diam dan mengikuti Ela dari belakang. Entah apa yang ada dibenaknya itu.
Setelah berjalan tak jauh, kami berdua sampai di taman bunga dan bergabung dengan Mika dan Darren yang sudah menyiapkan kain lebar, diatas rerumputan dan berada tepat dibawah pohon rindang menutupi cahaya matahari terik siang ini, cukup untuk kami berempat duduk. Taman ini dipenuhi rerumputan yang tumbuh subur dan tampak terawat. Dari tempat masuk disediakan batu pijakan sebagai jalan supaya rumputnya tidak terinjak. Disekeliling taman ini juga dipenuhi dengan bermacam-macam bunga seperti lily, lavender, sampai mawar merah dan putih.
"Jadi? Selanjutnya bagaimana?" tayaku pada ketiga sahabatku ini.
Mika yang sedang menyiapkan makan siang berhenti dan menatapku, "sudah, kalian berdua duduk dan kita makan dulu."
"Benar, mumpung kakakku yang sedang baik ini mau mentraktir kita semua," lanjut Darren.
"Ya, ya, ya..." acuh Ela.
Diatas kain itu sudah ada empat kotak makanan yang isinya tak kuketahui. Ada juga tiga kotak jus buah yang berbeda rasa, jeruk, apel, strawberry, dan sekotak susu. Dimana jus jeruk pasti untuk Ela, jus strawberry kesukaan Mika, susu untuk Darren, dan apel sebagai jus favoritku.
"Ini bento, kotak makanan khas jepang yang kubeli di kantin tadi," jelas Ela padaku yang melihat tampang heranku.
"Aku juga tahu bento itu apa," keluhku padanya yang berakting seolah aku tidak tahu apa-apa. "Yang membuatku heran, buat apa kalian bersusah-payah kesini cuma untuk mendengar ceritanya Ela? 'kan di kantin juga bisa," lanjutku.
Mika berdiri dan mendorong punggungku supaya aku duduk ditempat yang disediakannya, "sudah, ayo duduk, makan, dan nikmati pemandangan disini."
Ketika kami mulai menyantap bento yang ada, Ela mulai menceritakan legenda yang dimaksudnya. "Begini, managerku dulunya alumni sekolah ini. Katanya, dulu ada legenda tentang pelangi yang akan muncul sewaktu sore ditengah-tengah taman ini, tepat diatas pohon yang ada disamping kita ini meskipun hujan tidak turun," Jelasnya sambil menunjuk kearah pohon rindang itu.
"Lalu apa hubungannya dengan kami?" tanya Darren.
Ela memukul pelan bahu Darren, yang kujamin tidak sakit sedikitpun, "tentu saja ada, bodoh!" Ela mengambil kroket dari bentonya, memasukkannya kedalam mulutnya, menelannya dan melanjutkan ceritanya, "kalau kau bisa melihatnya, katanya harapanmu bisa terkabul. Dan kalau yang melihatnya itu sepasang kekasih, mereka akan bahagia selamanya!"
"Jadi itu maksudmu? Tapi, itu cuma legenda, 'kan? Belum tentu jadi kenyataan," kataku mencoba menenangkan Ela yang sepertinya sedang hanyut dalam ceritanya sendiri.
"Tapi teman managerku itu melihatnya dan harapannya jadi kenyataan!" celah Ela agar aku percaya pada hal yang bagiku tidak logis itu.
"Kedengarannya keren, 'kan. Teman-teman sekelas kami saja sibuk membicarakannya dikelas," tambah Mika yang tampak mendukung Ela.
Tampaknya kali ini aku harus mengalah mengingat Mika yang semangat dengan legenda itu daripada mereka memusuhiku, "iya, deh. Aku percaya."
Tiba-tiba Ela berdiri dan menunjuk Darren dan Mika bergantian dengan jari telunjuknya, "Jadi waktu pulang nanti, Mika dan Darren haus kesini dan melihat pelangi itu!"
Mendengar ide Ela, sepertinya itu bisa jadi alasan yang baik untuk mempercayai legenda itu. Aku pun ikut membantu Ela untuk membujuk Darren supaya mau melihatnya bersama Mika. Melihat muka Mika dan Darren yang memerah karena kami usili itu membuat moodku baik kembali. Makan siang kami penuh dengan tawa-canda, pokoknya sangat menyenangkan!
Setelah selesai makan, tiba-tiba aku teringat kalau aku harus pergi ke ruang guru untuk mengambil beasiswa yang kudapatkan. "Mika, Ela, Darren, maaf! Aku baru ingat harus ke kantor guru. Jadi aku pergi duluan, ya!" pamitku sambil segera pergi tanpa mendengar apa yang mereka katakan. Dari jauh, aku cuma bisa melambaikan tanganku pada mereka bertiga.
***
Aku hanya bisa menghela nafasku untuk kesekian kalinya. Keruang guru tampaknya bukan pilihan benar dari awal. Buktinya, kalau tidak kesana aku pasti tidak akan tersesat seperti ini! Belum lagi, aku harus ke kantor kepala sekolah untuk mengambil beasiswaku! Baru kali ini, aku merasa kesal dengan bangunan sekolah yang terlau besar ini.
Koridor yang kulalui tampak sepi. Tidak kelihatan seorang murid pun yang berjalan disini kecuali aku seorang. Mungkin karena gedung untuk guru dan siswa yang terpisah sehingga sedikit siswa yang mau berkeliaran disini. Letak kantor guru untuk kelas satu yang berada dilantai dua gedung juga bisa jadi alasan kenapa tempat ini sepi.
Aku pun berjalan menuju tangga yang letaknya diujung bangunan ini untuk ke ruang kepala sekolah dilantai satu. Belum sempat kakiku menyentuh anak tangga pertama, aku bisa mendengar suara langkah kaki dari lantai satu. Refleksku memaksaku untuk bersembunyi dibalik pegangan tangan yang ditutupi tembok putih disamping pegangan tangan ini.
"Jadi ini semua harus kukerjakan?" tanya seorang lelaki yang lewat itu.
"Tentu saja, itu 'kan tugasmu sebagai direktur sekolah ini," jawab lelaki yang berjalan dengannya juga.
'Suara mereka sepertinya pernah kudengar entah dimana. Mungkinkah... Tapi itu mustahil' batinku pada diriku sendiri mencoba untuk tidak menerka-nerka siapa orang-orang itu.
"Tapi, tugasmu sebagai ketua osis juga untuk membantuku, Yandrix Larvyan!"
Sontak, aku terkejut. Ternyata tebakanku benar! Salah satu suara itu milik Yandix. Tapi, masa dia bisa bicara sesantai itu didepan direktur sekolah? Dan kenapa seorang direktur seperti itu bisa mengeluh? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat rasa ingin tahuku membesar. Dengan hati-hati, aku menaikkan kepalaku untuk mengintip muka orang yang katanya direktur itu.
Apa yang kulihat sungguh diluar perkiraanku! Masa yang dimaksud direktur itu cowok yang tadi pagi berteriak tidak sopan itu?!
'Hmm.. Kalau tidak salah, panggilannya Dash, 'kan?' tanyaku pada diriku sendiri.
Melihat mereka berdua berjalan kearah kantor kepala sekolah sabil membawa beberapa dokumen, aku jadi ingin mengetahui banyak hal lebih lanjut. Tanpa sadar, kakiku melangkah mengikuti kedua orang itu dari belakang sambil sedikit menjaga jarak agar aku tidak ketahuan.
0 comments:
Post a Comment