BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Monday, March 15, 2010

Chapter 5

Aku berada disebuah taman indah dengan berbagai jenis bunga yang mengelilinginya. Tempat yang membuatku merasakan nostalgia yang sudah lama kulupakan. Aku belum pernah ke tempat ini sama sekali, tapi perasaanku malah berkata sebaliknya. Aku mencoba mengingat kembali, tapi yang kudapati hanyalah kehampahan belaka. Tidak ada yang bisa kuingat, bahkan namaku sendiri.
‘Siapa aku? Kenapa aku disini? Tempat apa ini?‘ kata-kata itu terus melayang dalam benakku saat aku mulai berjalan mengelilingi taman ini.
“Lecy!!“ Tiba-tiba dari belakangku muncul seorang anak lelaki. Dia memanggil nama seseorang yang tak kuketahui dan terus terduduk ditanah. Penampilannya sangat berantakan, bajunya kotor oleh lumpur, disekujur tubuhnya tampak luka-luka kecil. Anak ini tidak menangis sedikitpun, malahan raut mukanya menunjukkan rasa bersalah. "Maafkan aku.. Maafkan aku," dia terus mengulangnya berkali-kali.
“....“ Saat aku ingin menyapanya, suaraku tidak bisa keluar sama sekali. Kucoba meraih bahu anak laki-laki yang mengigil ketakutan itu. Namun, makin aku berusaha untuk meraihnya, semakin jauh jarak kami berdua.
Perlahan, tetesan air mata keluar dari matanya yang berwarna coklat muda itu. Sejenak, aku merasakan perasaan menyesal dan bersalah darinya. Anak itu terus-terusan menunduk kebawah, seperti meratapi sesuatu. Kutujukan mataku pada apa yang dilihatnya dari tadi, nihil. Tidak ada apa-apa disana, hanya bayangan hitam pekat yang mengelilingi anak lelaki itu.
Tiba-tiba kepalaku menjadi sakit sekali. Dengan kedua tangan aku memegang kepalaku supaya rasa sakitnya dapat berkurang. Aku menarik tanganku dari kepala saat aku merasakan sesuatu menempel pada kepalaku, aku melihat tanganku yang berlumuran darah.
Sekelilingku berubah menjadi gelap gulita dalam sekejap. Tidak ada lagi taman indah, tidak ada lagi anak laki-laki yang ketakutan, tidak ada... Semua yang kudapatkan lenyap... Kesadaranku mulai memudar, entah apa yang terjadi padaku, aku tak peduli lagi.
***
Cy...Lecy...LECY!!
Teriakan orang yang berada disisiku membangunkanku dari mimpi aneh itu. Ternyata orang itu adalah sahabatku, Umika yang biasanya kupanggil Mika. Nafasnya tidak beraturan seperti baru saja berlari keliling kota tanpa henti.
Saat sadar aku sudah bangun, dia langsung menarikku untuk berdiri dari tempat tidur. “Kau ini bagaimana sih? Lihat sudah jam berapa ini!” bentaknya padaku.
Kontan, aku segera melihat jam dinding yang ada dikamarku, masih dengan rasa kantuk yang sangat. Jarum panjangnya menunjuk kearah angka lima dan jarum pendeknya menunjukkan angka tujuh.
Ohh.. Hampir jam setengah delapan, kataku pelan. Tiba-tiba aku mulai tersadar saat membuka pintu kamar tidurku, Eh!! Gawat!! Sudah jam setengah delapan! Kita masuk jam delapan lewat lima belas menit, 'kan
“Itu jadinya kalau kau keenakan tidur!” cibir Mika yang masih duduk disamping tempat tidurku.
Sambil menyiapkan bajuku dengan tergesa-gesa, aku mengeluh pada Mika, “kenapa kau tidak membangunkanku?”
Aku sudah mencoba segala cara, Lecy!"
“Iya, iya. Aku yang salah.”
“Sudahlah! Ayo cepat! Paling tidak, setengah jam lagi kita harus sudah sampai di sekolah. Mika berjalan keluar kamarku saat aku mau berganti pakaian. Seperti biasa, dia tahu kalau aku tidak suka ada orang yang melihatku berganti baju. Ya, sejak kejadian itu, kejadian yang membuat kami jadi teman baik seperti sekarang. Kalau dipikir-pikir lagi, aku merasa beruntung hal itu terjadi. Tapi jangankan aku, aku yakin banyak orang tidak suka jika ditonton saat sedang tidak berbusana.
Setelah selesai berganti baju dan bersiap-siap, yang memakan sepuluh menit waktuku, aku segera turun kelantai bawah mengajak Mika untuk segera pergi sekolah, dan berpamitan dengan orang tuaku. Untuk sarapanku, terpaksa aku mengambil sepotong roti dan mengigitnya dengan mulutku supaya aku tidak terlambat.
***
Jam tanganku sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima menit, dan aku masih saja berada dalam mobil bersama Mika. Dia hanya terus diam dan menatap keluar jendela, melihat mobil-mobil lain dijalanan yang macet pada jam-jam seperti ini.
Sepertinya Mika akhirnya sadar kalau aku terus memperhatikannya sedari tadi. “Kenapa? tanyanya.
Eh, tidak. Umm... Maaf deh, gara-gara aku terlambat bangun, kita jadi terlambat.”
Oh, itu. Tenang saja, aku tidak marah kok. Lagipula masih ada waktu dua puluh menit lagi dan sebentar lagi juga kita sampai...” Nada bicaranya terdengar lega. Dan lagi, kalau melihatnya aku—
Mendengar teman baikku bicara seperti itu, makin membuatku gusar. Tiba-tiba aku teringat kejadian semalam saat aku dan Ela membohongi mereka, “kau kenapa? Jangan-jangan semalam terjadi sesuatu?”
“Eh, tidak ada apa-apa kok.” Mika berusaha untuk mengalihkan perhatianku, “ngomong-ngomong, tumben kau terlambat bangun, kenapa?”
“Oh, itu. Aku mendapat mimpi yang aneh sekali,” tiba-tiba aku sadar kalau Mika sedang mengalihkan pembicaraan. ”Jangan megalihkan pembicaraan, Mika! Ceritakan padaku apa yang dilakukan Darren semalam! Aku makin memojokkan Mika hingga tubuhnya menyentuh pintu mobil mewahnya-yang dianggapnya mobil biasa itu.
Ba..Baiklah! Tapi mundur dulu! Katanya sambil mendorong tubuhku.
Aku bergerak menjauh darinya, “oke, sekarang ceritakan apa yang terjadi. Tenang saja, kita punya banyak waktu.”
“Sebenarnya...”
***
Hah?! Kau serius?! Dia men—“ Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Mika sudah membekap mulutku sekuat mungkin. "Hmph..Hmpp!!" Hanya itu yag bisa kukeluarkan dari mulutku yang tertutup rapat dengan tangan Mika.
Lecy!! Kalau mau terkejut jangan teriak, dong! Bagaimana kalau supirku mendengarnya?! bisik Mika sambil tetap menutup mulutku.
Dengan tanganku, aku mencoba melepaskan bekapan tangannya, “iya, deh. Tapi, kau ini, masa karena di-“
“Nona, kita sudah sampai di sekolah anda.” Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, supir Mika dibangku depan memberitahukan kami, kalau sekolah sudah ada didepan mata.
Ya, sudah. Ayo, Lecy. Mika berjalan keluar dari mobilnya sambil menarikku keluar.
“Hey! Tunggu dulu, aku belum selesai bicara!”
Sudahlah, lima menit lagi bakal bel, nih!
Iya, iya. Aku tahu, kok.
Dan lagi, jangan menyinggung tentang itu lagi, ya!
Hei, pasangan yang berciuman itu hal yang wajar, Mika.”
Mika berhenti berjalan dan segera membalikkan badannya mendekatiku, "kan sudah kubilang, jangan ungkit hal itu lagi! Itu cuma kecelakaan!" Mukanya memerah, ada raut malu, gusar, hingga marah, yang membuatku tidak bisa menahan tawaku.
Kami memasuki gedung tempat kelasku berada saat Ela dengan Darren-Ela yang menyeret Darren tepatnya- berlari kearahku. “Kalian ini lama sekali, sih!” gusar Ela.
Masih dengan muka yang merah, mungkin karena melihat Darren, Mika berjalan kearah Ela, “jangan salahkan aku.
Mika, kau ini kenapa sih? tanya Ela yang heran melihat tingkah temannya itu. Kau juga, Darren! lanjutnya.
Mendengarnya, aku bisa memastikan sesuatu, oh! Jadi begitu ya?”
Ela makin heran saat mendengarku berkata seperti itu, "begitu apanya?”
“Loh, Darren tidak cerita padamu tentang yang mereka lakukan semalam?”
Darren yang dari tadi mengalihkan muka dari kami langsung berbalik kearahku saat aku menyebut namanya, “Mana mungkin aku harus melaporkan apa yang kulakukan semalam pada kakakku ini!? Pria juga punya rahasia yang tidak boleh diketahui banyak orang!”
Ding...Dong..Ding..Dong...
Mendengar bel tanda masuk berbunyi, Darren langsung berbalik dan berjalan menuju kelasnya, aku pergi duluan!” Sungguh, tingkah lakunya yang canggung itu membuatku ingin tertawa terbahak-bahak.
Tungg- belum sempat Ela menhentikan Darren, Mika malah menghentikannya.
Mika menarik tangan Ela, “Sudah bel, ayo ke kelas!”
Ela hanya bisa menghela nafas, “iya. Lecy, nanti ceritakan padaku, ya!”
Aku hanya bisa tertawa ringan sambil melambaikan tangan pada kedua sahabat karibku yang neghilang dari kejauhan itu.
Kulangkahkan kakiku secepat mungkin, berharap guru belum masuk kedalam kelasku. Aneh sekali, kalau aku terlambat dihari kedua sekolah.
***
Meskipun jarak kelasku dengan gerbang sekolah cukup dekat, tentu saja kalau berjalan santai akan memakan waktu cukup lama untuk sampai. Dan karena ada peraturan tidak boleh berlari di lorong, terpaksa aku berjalan cepat seperti orang kesurupan. Lorong sekolah sudah tampak sepi, hanya terlihat beberapa siswa yang berdiri diluar kelas melihat-lihat apakah guru mereka akan datang atau belum.
Akhirnya aku tiba juga didepan kelasku. Dari luar, suasana didalam kedengaran sangat tenang. Hanya terdengar suara-suara kecil yang tidakbisa kukenali. Kucoba mengetuk pintu yang terbuat dari kayu oak dengan ukiran unik seperti pintu kelas-kelas lainnya.
“Silahkan.” dari dalam kelas itu terdengar suara yang berat, yang pastinya suara guru.
‘Aduh, bagaimana ini’ Aku hanya bisa pasrah sekarang.
Kubuka pintu itu dengan segenap kemampuanku, berharap aku tidak mendapat masalah, “maaf, saya terlambat.”
Keadaan kelas menjadi hening, tiap-tiap pasang mata menatapku yang hanya bisa menunduk malu. Pak guru yang sepertinya sedang menerangkan sesuatu juga, saat mendengarku pun hanya bisa termanung diam. Tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, dia berjalan menuju mejanya yang penuh dengan buku-buku dan mencari sesuatu.
Setelah sepertinya mendapatkan apa yang dicarinya, dia berbalik berjalan kearahku. “Namamu?”
“Leyciena Hadriff, Pak,“ jawabku pelan.
“Kamu belum membaca pengumuman, ya?“
Kepalaku segera bergerak melihat keatas, “maaf?”
“Kelasmu bukan disini lagi. Lihat saja, namamu sudah dihapus dari daftar siswa dikelas ini.“ Dia memperlihatkanku daftar siswa untuk kelas X-I.
Mataku bergerak keatas kebawah mencoba membuktikan kalau apa yang dikatakan guru satu ini salah. Tidak mungkin aku dipindah kelaskan! Ini baru hari kedua SMA-ku! Pasti ada kesalahan besar disini.
“Kalau kamu tidak yakin, tanyakan saja pada Kepala Sekolah. Beliau yang mengatur kepindahanmu ke kelas ‘itu‘. Kantor beliau berada di gedung guru dan administrasi,“ jelasnya.
Mendengarnya, sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain pergi keruang yang semalam kukunjungi lagi. Segera aku pamit dari tempat itu, yang sepertinya saat-saat terakhirku untuk masuk kedalam kelas itu.
Kulangkahkan kakiku lebih cepat dari saat aku buru-buru mau kekelas tadi. Koridor sekolah sangat sepi, seperti kuburan. Disekelilingku, kelas-kelas yang didalamnya pasti sedang belajar itu sangat tenang, hampir tidak menimbulkan suara sedikitpun.
***
Sekali lagi, aku berada didepan pintu dimana aku jatuh semalam. Namun, kali ini keadaannya berbeda. Kali ini aku datang bukan untuk menguping ataupun mengikuti orang lain, tentu saja aku bukan stalker, tapi untuk mempertanyakan kenapa aku dipindahkan.
Aku mencoba menarik nafas semampuku, dan mengeluarkannya. Setelah hatiku lumayan tenang, kuketuk pintu didepanku perlahan.
“Masuk.“
Terdengar suara dua orang pria secara bersamaan yang menyuruhku masuk. Dari nada bicara mereka berdua. Sepertinya sedang sibuk.
‘Pasti Kepala sekolah dan Wakilnya. Mereka pasti menyadari kesalahan memindahkanku,‘ pikirku optimis.
Tapi, apa yang kudapati berbeda dari yang kubayangkan. Kedua orang itu adalah orang yang sama dengan yang kutemui semalam, Dash dan Andrix.

To be Continued..

0 comments: