BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Monday, March 15, 2010

Chapter 5

Aku berada disebuah taman indah dengan berbagai jenis bunga yang mengelilinginya. Tempat yang membuatku merasakan nostalgia yang sudah lama kulupakan. Aku belum pernah ke tempat ini sama sekali, tapi perasaanku malah berkata sebaliknya. Aku mencoba mengingat kembali, tapi yang kudapati hanyalah kehampahan belaka. Tidak ada yang bisa kuingat, bahkan namaku sendiri.
‘Siapa aku? Kenapa aku disini? Tempat apa ini?‘ kata-kata itu terus melayang dalam benakku saat aku mulai berjalan mengelilingi taman ini.
“Lecy!!“ Tiba-tiba dari belakangku muncul seorang anak lelaki. Dia memanggil nama seseorang yang tak kuketahui dan terus terduduk ditanah. Penampilannya sangat berantakan, bajunya kotor oleh lumpur, disekujur tubuhnya tampak luka-luka kecil. Anak ini tidak menangis sedikitpun, malahan raut mukanya menunjukkan rasa bersalah. "Maafkan aku.. Maafkan aku," dia terus mengulangnya berkali-kali.
“....“ Saat aku ingin menyapanya, suaraku tidak bisa keluar sama sekali. Kucoba meraih bahu anak laki-laki yang mengigil ketakutan itu. Namun, makin aku berusaha untuk meraihnya, semakin jauh jarak kami berdua.
Perlahan, tetesan air mata keluar dari matanya yang berwarna coklat muda itu. Sejenak, aku merasakan perasaan menyesal dan bersalah darinya. Anak itu terus-terusan menunduk kebawah, seperti meratapi sesuatu. Kutujukan mataku pada apa yang dilihatnya dari tadi, nihil. Tidak ada apa-apa disana, hanya bayangan hitam pekat yang mengelilingi anak lelaki itu.
Tiba-tiba kepalaku menjadi sakit sekali. Dengan kedua tangan aku memegang kepalaku supaya rasa sakitnya dapat berkurang. Aku menarik tanganku dari kepala saat aku merasakan sesuatu menempel pada kepalaku, aku melihat tanganku yang berlumuran darah.
Sekelilingku berubah menjadi gelap gulita dalam sekejap. Tidak ada lagi taman indah, tidak ada lagi anak laki-laki yang ketakutan, tidak ada... Semua yang kudapatkan lenyap... Kesadaranku mulai memudar, entah apa yang terjadi padaku, aku tak peduli lagi.
***
Cy...Lecy...LECY!!
Teriakan orang yang berada disisiku membangunkanku dari mimpi aneh itu. Ternyata orang itu adalah sahabatku, Umika yang biasanya kupanggil Mika. Nafasnya tidak beraturan seperti baru saja berlari keliling kota tanpa henti.
Saat sadar aku sudah bangun, dia langsung menarikku untuk berdiri dari tempat tidur. “Kau ini bagaimana sih? Lihat sudah jam berapa ini!” bentaknya padaku.
Kontan, aku segera melihat jam dinding yang ada dikamarku, masih dengan rasa kantuk yang sangat. Jarum panjangnya menunjuk kearah angka lima dan jarum pendeknya menunjukkan angka tujuh.
Ohh.. Hampir jam setengah delapan, kataku pelan. Tiba-tiba aku mulai tersadar saat membuka pintu kamar tidurku, Eh!! Gawat!! Sudah jam setengah delapan! Kita masuk jam delapan lewat lima belas menit, 'kan
“Itu jadinya kalau kau keenakan tidur!” cibir Mika yang masih duduk disamping tempat tidurku.
Sambil menyiapkan bajuku dengan tergesa-gesa, aku mengeluh pada Mika, “kenapa kau tidak membangunkanku?”
Aku sudah mencoba segala cara, Lecy!"
“Iya, iya. Aku yang salah.”
“Sudahlah! Ayo cepat! Paling tidak, setengah jam lagi kita harus sudah sampai di sekolah. Mika berjalan keluar kamarku saat aku mau berganti pakaian. Seperti biasa, dia tahu kalau aku tidak suka ada orang yang melihatku berganti baju. Ya, sejak kejadian itu, kejadian yang membuat kami jadi teman baik seperti sekarang. Kalau dipikir-pikir lagi, aku merasa beruntung hal itu terjadi. Tapi jangankan aku, aku yakin banyak orang tidak suka jika ditonton saat sedang tidak berbusana.
Setelah selesai berganti baju dan bersiap-siap, yang memakan sepuluh menit waktuku, aku segera turun kelantai bawah mengajak Mika untuk segera pergi sekolah, dan berpamitan dengan orang tuaku. Untuk sarapanku, terpaksa aku mengambil sepotong roti dan mengigitnya dengan mulutku supaya aku tidak terlambat.
***
Jam tanganku sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima menit, dan aku masih saja berada dalam mobil bersama Mika. Dia hanya terus diam dan menatap keluar jendela, melihat mobil-mobil lain dijalanan yang macet pada jam-jam seperti ini.
Sepertinya Mika akhirnya sadar kalau aku terus memperhatikannya sedari tadi. “Kenapa? tanyanya.
Eh, tidak. Umm... Maaf deh, gara-gara aku terlambat bangun, kita jadi terlambat.”
Oh, itu. Tenang saja, aku tidak marah kok. Lagipula masih ada waktu dua puluh menit lagi dan sebentar lagi juga kita sampai...” Nada bicaranya terdengar lega. Dan lagi, kalau melihatnya aku—
Mendengar teman baikku bicara seperti itu, makin membuatku gusar. Tiba-tiba aku teringat kejadian semalam saat aku dan Ela membohongi mereka, “kau kenapa? Jangan-jangan semalam terjadi sesuatu?”
“Eh, tidak ada apa-apa kok.” Mika berusaha untuk mengalihkan perhatianku, “ngomong-ngomong, tumben kau terlambat bangun, kenapa?”
“Oh, itu. Aku mendapat mimpi yang aneh sekali,” tiba-tiba aku sadar kalau Mika sedang mengalihkan pembicaraan. ”Jangan megalihkan pembicaraan, Mika! Ceritakan padaku apa yang dilakukan Darren semalam! Aku makin memojokkan Mika hingga tubuhnya menyentuh pintu mobil mewahnya-yang dianggapnya mobil biasa itu.
Ba..Baiklah! Tapi mundur dulu! Katanya sambil mendorong tubuhku.
Aku bergerak menjauh darinya, “oke, sekarang ceritakan apa yang terjadi. Tenang saja, kita punya banyak waktu.”
“Sebenarnya...”
***
Hah?! Kau serius?! Dia men—“ Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Mika sudah membekap mulutku sekuat mungkin. "Hmph..Hmpp!!" Hanya itu yag bisa kukeluarkan dari mulutku yang tertutup rapat dengan tangan Mika.
Lecy!! Kalau mau terkejut jangan teriak, dong! Bagaimana kalau supirku mendengarnya?! bisik Mika sambil tetap menutup mulutku.
Dengan tanganku, aku mencoba melepaskan bekapan tangannya, “iya, deh. Tapi, kau ini, masa karena di-“
“Nona, kita sudah sampai di sekolah anda.” Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, supir Mika dibangku depan memberitahukan kami, kalau sekolah sudah ada didepan mata.
Ya, sudah. Ayo, Lecy. Mika berjalan keluar dari mobilnya sambil menarikku keluar.
“Hey! Tunggu dulu, aku belum selesai bicara!”
Sudahlah, lima menit lagi bakal bel, nih!
Iya, iya. Aku tahu, kok.
Dan lagi, jangan menyinggung tentang itu lagi, ya!
Hei, pasangan yang berciuman itu hal yang wajar, Mika.”
Mika berhenti berjalan dan segera membalikkan badannya mendekatiku, "kan sudah kubilang, jangan ungkit hal itu lagi! Itu cuma kecelakaan!" Mukanya memerah, ada raut malu, gusar, hingga marah, yang membuatku tidak bisa menahan tawaku.
Kami memasuki gedung tempat kelasku berada saat Ela dengan Darren-Ela yang menyeret Darren tepatnya- berlari kearahku. “Kalian ini lama sekali, sih!” gusar Ela.
Masih dengan muka yang merah, mungkin karena melihat Darren, Mika berjalan kearah Ela, “jangan salahkan aku.
Mika, kau ini kenapa sih? tanya Ela yang heran melihat tingkah temannya itu. Kau juga, Darren! lanjutnya.
Mendengarnya, aku bisa memastikan sesuatu, oh! Jadi begitu ya?”
Ela makin heran saat mendengarku berkata seperti itu, "begitu apanya?”
“Loh, Darren tidak cerita padamu tentang yang mereka lakukan semalam?”
Darren yang dari tadi mengalihkan muka dari kami langsung berbalik kearahku saat aku menyebut namanya, “Mana mungkin aku harus melaporkan apa yang kulakukan semalam pada kakakku ini!? Pria juga punya rahasia yang tidak boleh diketahui banyak orang!”
Ding...Dong..Ding..Dong...
Mendengar bel tanda masuk berbunyi, Darren langsung berbalik dan berjalan menuju kelasnya, aku pergi duluan!” Sungguh, tingkah lakunya yang canggung itu membuatku ingin tertawa terbahak-bahak.
Tungg- belum sempat Ela menhentikan Darren, Mika malah menghentikannya.
Mika menarik tangan Ela, “Sudah bel, ayo ke kelas!”
Ela hanya bisa menghela nafas, “iya. Lecy, nanti ceritakan padaku, ya!”
Aku hanya bisa tertawa ringan sambil melambaikan tangan pada kedua sahabat karibku yang neghilang dari kejauhan itu.
Kulangkahkan kakiku secepat mungkin, berharap guru belum masuk kedalam kelasku. Aneh sekali, kalau aku terlambat dihari kedua sekolah.
***
Meskipun jarak kelasku dengan gerbang sekolah cukup dekat, tentu saja kalau berjalan santai akan memakan waktu cukup lama untuk sampai. Dan karena ada peraturan tidak boleh berlari di lorong, terpaksa aku berjalan cepat seperti orang kesurupan. Lorong sekolah sudah tampak sepi, hanya terlihat beberapa siswa yang berdiri diluar kelas melihat-lihat apakah guru mereka akan datang atau belum.
Akhirnya aku tiba juga didepan kelasku. Dari luar, suasana didalam kedengaran sangat tenang. Hanya terdengar suara-suara kecil yang tidakbisa kukenali. Kucoba mengetuk pintu yang terbuat dari kayu oak dengan ukiran unik seperti pintu kelas-kelas lainnya.
“Silahkan.” dari dalam kelas itu terdengar suara yang berat, yang pastinya suara guru.
‘Aduh, bagaimana ini’ Aku hanya bisa pasrah sekarang.
Kubuka pintu itu dengan segenap kemampuanku, berharap aku tidak mendapat masalah, “maaf, saya terlambat.”
Keadaan kelas menjadi hening, tiap-tiap pasang mata menatapku yang hanya bisa menunduk malu. Pak guru yang sepertinya sedang menerangkan sesuatu juga, saat mendengarku pun hanya bisa termanung diam. Tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, dia berjalan menuju mejanya yang penuh dengan buku-buku dan mencari sesuatu.
Setelah sepertinya mendapatkan apa yang dicarinya, dia berbalik berjalan kearahku. “Namamu?”
“Leyciena Hadriff, Pak,“ jawabku pelan.
“Kamu belum membaca pengumuman, ya?“
Kepalaku segera bergerak melihat keatas, “maaf?”
“Kelasmu bukan disini lagi. Lihat saja, namamu sudah dihapus dari daftar siswa dikelas ini.“ Dia memperlihatkanku daftar siswa untuk kelas X-I.
Mataku bergerak keatas kebawah mencoba membuktikan kalau apa yang dikatakan guru satu ini salah. Tidak mungkin aku dipindah kelaskan! Ini baru hari kedua SMA-ku! Pasti ada kesalahan besar disini.
“Kalau kamu tidak yakin, tanyakan saja pada Kepala Sekolah. Beliau yang mengatur kepindahanmu ke kelas ‘itu‘. Kantor beliau berada di gedung guru dan administrasi,“ jelasnya.
Mendengarnya, sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain pergi keruang yang semalam kukunjungi lagi. Segera aku pamit dari tempat itu, yang sepertinya saat-saat terakhirku untuk masuk kedalam kelas itu.
Kulangkahkan kakiku lebih cepat dari saat aku buru-buru mau kekelas tadi. Koridor sekolah sangat sepi, seperti kuburan. Disekelilingku, kelas-kelas yang didalamnya pasti sedang belajar itu sangat tenang, hampir tidak menimbulkan suara sedikitpun.
***
Sekali lagi, aku berada didepan pintu dimana aku jatuh semalam. Namun, kali ini keadaannya berbeda. Kali ini aku datang bukan untuk menguping ataupun mengikuti orang lain, tentu saja aku bukan stalker, tapi untuk mempertanyakan kenapa aku dipindahkan.
Aku mencoba menarik nafas semampuku, dan mengeluarkannya. Setelah hatiku lumayan tenang, kuketuk pintu didepanku perlahan.
“Masuk.“
Terdengar suara dua orang pria secara bersamaan yang menyuruhku masuk. Dari nada bicara mereka berdua. Sepertinya sedang sibuk.
‘Pasti Kepala sekolah dan Wakilnya. Mereka pasti menyadari kesalahan memindahkanku,‘ pikirku optimis.
Tapi, apa yang kudapati berbeda dari yang kubayangkan. Kedua orang itu adalah orang yang sama dengan yang kutemui semalam, Dash dan Andrix.

To be Continued..

Saturday, March 6, 2010

Chapter 4

Saat kedua orang itu memasuki ruangan kepala sekolah, aku pun mencoba untuk mencuri dengar pembicaraan mereka dengan menempelkan daun telingaku pada pintu. Samar-samar, hanya terdengar suara kedua cowok yang kutemui tadi pagi.
"Argh! Kenapa orang itu selalu meninggalkan pekerjaannya begitu saja?" keluh pria yang bernama Dash itu.
"Apa boleh buat, dia 'kan sakit. Untuk sementara, kau yang menggantikan posisinya. Lagipula menggantikan jabatan kepala sekolah juga sudah menjadi tugasmu, sebagai direktur sekolah ini." Suara ini, pasti suara Yandrix!
"Ok, ok." Orang itu sepertinya berhenti sejenak untuk memikirkan sesuatu, "hmm... Tentang orang yang menerima beasiswa itu..."
Sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, Yandrix memotongnya, "Oh! Lecy maksudmu?"
'Apa?!' Mendengar namaku disebut, keseimbanganku pun langsung hilang. Tanpa sengaja, aku terjatuh dan tentu saja menimbulkan suara yang keras.
Mendengar suara jatuhku, kedua orang didalam ruangan itu pun berteriak, "siapa disitu?!" dalam waktu yang hampir bersamaan.
'Gawat! Bagaimana ini? Ayo Lecy, pikirkan alasan yang masuk akal!' hanya itu yang bisa kukatakan pada diriku sendiri seraya segera bangkit dari lantai keramik gedung ini. Dari jauh, bisa kudengar langkah kaki yang berjalan mendekat kearah pintu ruang yang ada didepanku. Namun, dalam otakku muncul ide yang aneh tapi tetap harus kulakukan untuk menyelamatkanku dari rasa malu ini.
Segera aku berdiri dan memasang tampang tidak tahu apa-apa. Kurapikan pakaianku yang lumayan berantahan secepat mungkin. Mataku menghadap kearah pintu ruangan dimana kedua cowok itu berada. Pintu kayu bercorak unik itu pun kuketuk pelan. Saat aku yakin mereka berdua mendengar ketukan pintuku, kubuka pintu itu perlahan,"permisi."
Waktu kubuka, ternyata dihadapanku tertampang muka seorang cowok yang tadi pagi kutemui itu. Refleks, aku berjalan menjauh dan menabrak pintu yang sekarang tertutup ini. Pria bermata coklat itu hanya menatapku penuh curiga.
Beberapa detik setelah aku masuk kedalam ruangan yang lumayan lebar itu terasa sangat sunyi. Tak seorang pun mengeluarkan suara. Tiap detik yang berjalan terus menerus bagaikan berjam-jam bagiku. Kukerahkan segenap keberanianku untuk memecah keheningan ini.
Sambil berusaha memasang tampang tersenyum aku mencoba berdiri tegak dan berusaha meraih gagang pintu dibelakangku. "Umm.. Maaf, saya ingin bertemu dengan kepala sekolah. Tapi, tampaknya beliau tidak ada ditempat, ya?"
"Kalau begitu, saya permisi," izinku pada kedua orang diruangan itu seraya membalikan badanku dan membuka pintu. Belum sempat pintu terbuka satu inci pun, sepertinya ada sesuatu yang menahanku untuk membuka pintu lebih lebar lagi. Jantungku pun berdegup kencang. Aku takut sepertinya ucapanku barusan tidak mereka percayai. Dengan takut, aku mencoba meliat kesampingku dan ternyata tangan cowok yang berhadapan denganku tadi menahan pintu supaya aku tidak bisa keluar.
Tiba-tiba dia mendekatkan mukanya padaku sehingga jarak kami mejadi kurang dari semeter. Mata kami saling beradu, yang tentu saja membuat jantungku deg-degan dengan keras. Aku segera memalingkan muka pada tangannya yang menahan pintu itu.
"Tunggu dulu." Suaranya terdengar lebih lembut dibandingkan teriakannya tadi pagi, mungkin karena jarak kami yang dekat ini. "Kau ini..."
"Kamu pasti Leyciena Hadriff, penerima beasiswa sekolah, 'kan?" Yandrix yang masih berdiri dibelakang meja kepala sekolah dan sedang memegang beberapa lembar dokumen itu pun berjalan kearah kami berdua. "Dash, bagaimana?"
Dash, orang yang didepanku itu langsung menarik tangannya dari pintu dan segera berbalik menghadap Yandix, "Ya apa boleh buat. Meskipun lari dari rencana, lakukan saja 'itu' sekarang."
'Hah? Apa maksudnya dengan 'itu'?' Aku yang keheranan hanya bisa terdiam seperti patung.
Yandrix mengeluh, "tapi setidaknya, biarkan dia tahu dulu," dia mengatakannya sambil melihat kearahku dan tentu saja, aku makin heran dengan pembicaraan mereka.
"Tapi itu tugasmu, Andrix!" Tiba-tiba Dash berteriak dengan keras pada Yandix. Entah kenapa raut mukanya yang tadi tampak tenang sekarang terlihat gelisah.
Melihat mereka berdua yang sedang asik mengobrol, aku langsung merasa menyesal untuk masuk keruangan ini. Segera kuputuskan untuk keluar secepatnya dengan diam-diam. Kubalikkan badanku menghadap pintu dan memutar gagangnya. Tampaknya mereka tidak mendengar bunyi yang kusebabkan. Denagn cepat kubuka pintu dan kulangkahkan kakiku keluar dari ruangan ini.
"Kau!" Suara Dash langsung mengagetkanku yang berusahan keluar ini, bahkan sebelum salah satu kakiku menginjakkan lantai. Dia langsung berjalan kearahku dengan penuh amarah. Tentu saja reaksinya membuatku takut, tubuhku tidak bisa digerakkan sama sekali. "Minggir! Kau menghalangi jalanku!" Hanya itu kata-kata terakhirnya sebelum melewatiku begitu saja dan berjalan keluar dengan gayanya yang sok pemimpin.
"Apa-apaan pria itu?! Dasar, tidak tahu sopan santun!" Tanpa sadar, mulutku mengeluarkan cacian pada Dash yang sudah pergi jauh itu, kontan aku segera menutup mulutku saat sadar kalau Yandix-yang katanya sepupunya itu-masih berada diruangan ini.
Dia hanya tersenyum melihat tingkahku yang menurutku sendiri ini sudah tidak sopan. "Maafkan dia ya. Orang itu sepupuku, namanya Dashvylle Frush. Orangnya memang sering begitu kalau sedang gelisah atau malu"
"Malu?" Aku mengulang pernyataan Yandrix tadi dengan nada heran. "Karena apa?"
"Oh, tidak. Hmm, kalau tidak salah, kamu itu yang tadi pagi, 'kan?"
Mendengarnya, mukaku hanya memerah. Aku hanya bisa menunduk malu dan memarahi diriku sendiri.
"Kenalkan dulu, saya-"
"Yandrix Larvyan, 'kan! Aku sudah tahu, tadi aku mendengarnya di-" aku segera menghentikan kata-kataku yang terlalu mencolok ini dan mencoba memalingkan pembicaraan sambil tersenyum, "Ah, tidak apa-apa."
Mukanya hanya tampak keheranan tapi setelah beberapa saat, dia kembali seperti semula, memasang muka tersenyum yang ramah. "Hmm, kalau boleh tahu, ada apa kamu kesini? Oh, iya! Sebelumnya, tidak apa-apa 'kan kalau aku memanggilmu dengan nama kecilmu, Lecy?"
Mendengarnya tiba-tiba berkata seperti itu, jantungku berdetak dengan sangat kencang seperti mau copot. Dengan sekuat tenaga aku mencoba membalasnya, "Ah, tidak apa, kok. Teman-temanku juga memanggilku seperti itu. Lagipula kalau memakai nama lengkap, kedengaran panjang."
"Baiklah! Kalau begitu, kau juga boleh memanggilku dengan nama kecilku, Andrix"
Mukaku langsung memerah, "Eh, hmm.. An..And... Kak Andrix." Ketika sadar aku mengucapkan sesuatu yang aneh, aku langsung menundukan mukaku ke lantai supaya dia tidak bisa melihat mukaku yang semerah tomat ini.
Aku bisa mendengar suara Yandrix yang menahan tawanya dengan menutup rapat mulutnya dengan kepalan tangan kanannya. Sewaktu aku mencoba mengangkat kepalaku untuk melihatnya, wajah tertawanya yang bercahaya itu terpancar. Ternyata dia mempunyai dua lesung pipit yang terlihat jika ia tersenyum lebar seperti sekarang ini.
Yandrix yang segera berhenti tertawa ketika melihatku terpana saat menatap dirinya itu segera membuyarkan lamunanku dengan senyumnya yang ramah. "Kamu tidak perlu formal seperti itu. Cukup Andrix saja"
"Ta..tapi-" celahku gugup.
"Eits, tidak ada tapi-tapian. Teman itu tidak membedakan umur. Atau mungkin, kamu ini tidak menganggapku teman?"
Mendengarnya, aku hanya bisa tertunduk malu. Baru kali ini ada orang yang bisa membuatku seperti ini.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku," lanjutnya tiba-tiba.
Ding...Dong..Ding..Dong...
Namun, belum sempat aku menjawabnya, bel tanda istirahat selesai berbunyi. Jika aku berada disini lebih lama, aku pasti akan dihukum karena terlambat masuk dan aku tidak mau hal itu terjadi. Apalagi untuk hari pertama sekolah seperti ini. Aku pun segera pamit kepada Andrix, dan segera berlari menuju kelasku. Untung saja, guru belum masuk jadi aku terbebas dari hukuman.
Sebelum aku pergi keluar dari kantor kepala sekolah itu, aku masih ingat dengan jelas apa yang dikatakan Yandrix, “Tolong rahasiakan semua yang kamu dengar hari ini, yah!.“ Entah apa maksud dari perkataannya itu, tapi bagaimana pun, aku juga tidak yakin kalau orang aneh seperti Dash bisa menjadi direktur sekolah ini.
***
Ding...Dong..Ding..Dong...
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Guru pun berjalan keluar kelas diiringi dengan siswa yang mengikuti dari belakang. Mereka sepertinya ingin segera pulang dan langsung bermain. Ada beberapa orang yang tinggal dikelas ini, termasuk aku. Mereka sepertinya memang berteman dari awal, kelihatan dari cara mereka saat mengobrol.
Aku berjalan menuju pintu sambil mengucapkan salam pada mereka yang berada didekat pintu. Lorong yang tadinya kelihatan luas menjadi sangat sempit dengan banyaknya kerumuna orang-orang yang berbondong ingin segera pulang. Akhirnya, karena tidak mau berdempet-dempetan dengan kerumunan itu, aku memutuskan untuk menunggu sebentar.
Gedung tempat kelasku berada ini memang letaknya dekat dengan gerbang sekolah, makanya hapir seluruh muridnya memilih keluar melewati gedung kami. Tentu saja, aku juga memastikan kaau keempat sahabatku itu akan melewati lorong ini. Jadi menunggu mereka adalah pilihan yang lebih baik daripada aku memilih keluar sendiri.
Setelah beberapa waktu, orang yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ela, Mika, dan Darren akhirnya muncul dari balik keramaian ini. Dari jauh seprti ini saja, karisma mereka sudah melayang entah kemana, hal ini bisa kelihatan dari puluhan pasang mata yang tertuju pada mereka bertiga yang sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang aneh dan tentu saja membuatku enggan menanyakannya.
"Lama sekali kalian ini," keluhku sewaktu kami berempat berkumpul kembali dan segera menuju gerbang sekolah.
"Maaf, deh. Tapi, biasanya 'kan kau langsung kembali kerumahmu sendiri." Darren membela dirinya dengan menyalahkanku yang sering meniggalkan mereka bertiga dulu.
Memang waktu itu aku salah karena meninggalkan mereka. Tapi itu karena aku memang tidak bisa berlama-lama diluar. Aku juga harus membantu kedua orang tuaku di toko dan ketika jam-jam pulang sekolah seperti ini toko itu jadi ramai pengunjung.
Pulang ‘duluan’? Kalian ini bagaimana?! Kita ‘kan sudah janjian untuk pergi ke toko es krim yang baru buka didekat sekolahnya Als.” Darren meleraiku dan Ela yang saling mengejek dengan mengingatkan kami akan janji yang kubuat dengan mereka dulu -kalau mereka bisa lulus dan diterima sekolah disini, aku akan mentraktir mereka di kafe yang baru buka dekat sekolah adikku.
“Eh? Aku belum bilang, ya?” Ela memasang wajah terkejut. “Sore ini aku ada pemotretan untuk iklanku yang baru,“ lanjutnya.
"Aku juga tidak bisa. Kalian tahu sendiri bagaimana jadinya kalau aku tidak membantu orang tuaku." Aku juga ikut memberi alasan untuk tidak ikut.
Bukan karena tidak mau mentraktir, tapi Aku dan Ela memang sudah berencana untuk membuat Darren dan Mika berkencan dengan alasan itu, yang mana akibatnya berujung pada kami sendiri. Ela memang mendapat perkerjaan dan aku harus membantu orang tuaku.
Mendengarnya, raut muka Mika langsung tampak kecewa, "yah.. Padalah aku mau mencoba produk spesialnya."
"Ya, sudah. Kalian berdua pergi saja tanpa kami," kata Ela untuk membujuk mereka agar mau berkencan.
"Eh..." Darren langsung canggung mendengar ide Ela.
"Iya, Ela benar! Kalian berdua pergi saja duluan. Kita masih bisa kesana kapan-kapan, 'kan." Aku ikut mendorong mereka untuk pergi. "Darren, masa kau tidak mau menemani Mika kesana?" sambungku sambil melirik Darren yang jadi salah tingkah sendiri.
"Eh, tapi..." kata kedua sahabatku itu bersamaan.
"Sttt. Tidak ada tapi-tapi. Kami pergi dulu, yah! Sampai besok!" potongku.
Aku dan Ela segera berlari menjauhi kedua orang yang mulai memerah itu. Kami hanya melihat mereka dari jauh dan tertawa bersama. Setelah memastikan Mika dan Darren pergi, aku pun pamit dengan Ela untuk segera pulang.
Namun, yang belum pernah kusadari adalah orang-orang yang daritadi memperhatikanku sejak aku menunggu ketiga sahabatku itu sampai aku berpisah dengan Mika dan Darren. Sosok orang yang mengubah hari-hariku untuk selamanya.

To be Continued...