Sedetik, dua detik, tiap detik terus berlanjut, tapi tubuhku tidak merasakan sakit sedikitpun, malahan, kakiku saja yang menyentuh tanah tapi tubuhku ditopang oleh kedua tangan seseorang.
Perlahan aku membuka mata. Ternyata seorang cowok menopang bahuku dengan kedua tangannya sehingga aku tidak jatuh. Dari posisi kami, aku dapat melihat sosok penolongku ini dengan jelas. Mukanya tampak putih bersih dari dekat, matanya, yang berwarna biru kehijauan, menatap lurus kearahku seakan tidak peduli akan tatapan orang-orang yang melihat kearah kami dengan kacamata yang tipis, tapi membuat imagenya makin tampan. Rabutnya yang berwarna coklat tua sepanjang leher berkibaran dihembus angin. Hidungnya yang mancung dapat kulihat dengan jelas. Serta senyumnya yang ditujukan padaku sebagai tanda dia lega aku tidak apa-apa.
Cowok ini menegakkan tubuhku agar aku berdiri seperti semula. Tapi, hatiku tetap saja berdegup dengan keras sejak aku melihatnya. Ini pertama kalinya kurasakan perasaan seperti ini saat berdekatan dengan cowok.
“Kau tidak apa-apa, 'kan?,“ Tanya cowok tampan itu padaku. Aku hanya menggelengkan kepalku tanda aku tidak terluka. “Kau pasti siswa kelas satu, ya. Berarti kita akan bertemu lagi,“ lanjutnya sambil memasang muka tersenyum.
Melihatnya, entah kenapa dadaku berdegup kencang. Mungkin karena baru kali ini aku berdekatan dengan cowok lain selain Darren. Belum sempat aku membalas kata-kata cowok itu, Mika, Darren, dan Ela tiba-tiba muncul dibelakangku tanpa kusadari.
"Kau ini memang sembrono! Maaf ya, teman kami memang merepotkan," celah Darren yang terlihat sedang menahan tawanya sambil menepuk halus kepalaku dengan buku yang dipegangnya.
“Kau ini! Bukannya membantuku, malah menertawakanku!“ bisikku pada Darren saat aku menarik lengannya kearah tubuhku.
“Hei! Andrix! Kau mau sampai kapan berdiri disini? Ayo, cepat!“ tiba-tiba seorang cowok berteriak sambil berjalan kearah kami dengan nada kasar. Penampilannya hampir sama dengan gaya Darren yang terlihat santai. Hanya saja, raut mukanya tampak seperti orang cuek, apalagi dengan mata coklat mudanya yang besar dan rambutnya yang terlihat berwarna merah tua dari bawah cahaya matahari itu kelihatan kalau dia ini tipe orang yang tidak peduli akan apa yang orang lain bicarakan tentangnya.
Sepertinya Andrix yang dimaksudnya adalah cowok didepanku yang telah menolongku ini. Buktinya, dia langsung memalingkan tubuhnya kearah cowok yang mengatakan nama 'Andrix' tadi dan hanya menghela nafas sebentar untuk menyahut panggilan temannya itu.
"Dash! Tunggu aku!" lagi, belum sempat Andrix menyahut, kali ini seorang cewek yang muncul dari dalam pintu sebuah mobil mewah yang berhenti tepat didepan mobil Mika berlari kearah cowok yang tampak cuek tadi. Cewek yang kelihatan semangat apalagi dengan penampilannya yang sangat feminim itu, rambut pirangnya yang diikat dua matanya yang biru memancarkan sinar bersemangat.
"Dash, Nely. Aku menunggu kalian. Siapa suruh kalian lama, jadinya aku pergi duluan." jawab malaikat penolongku itu.
“Ya sudah, ayo masuk sekarang!" kata orang yang sepertinya bernama Dash itu.
"Iya, iya," jawab Andrix. setelah berjalan beberapa langkah, dia membalikan tubuhnya kearahku dan berkata, "Sampai jumpa lagi, Lecy," sambil tersenyum dan kemudian berlari kearah kedua temannya yang sudah masuk duluan kedalam lingkungan sekolah.
'Eh, kenapa dia tahu namaku?' pikirku dalam hati
Diriku hanya terpatung melihat ketiga orang asing yang tidak kukenal itu pergi menjauh dariku sambil tetap memikirkan tentang namaku. Mataku hanya menatap kepergian mereka tanpa mempedulikan sekelilingku.
"-cy! Lecy! LECY!!" teriakan Mika mengaburkan lamunanku. "Kau ini, ayo masuk!" sambungnya.
"Hei! kalian berdua mau sampai kapan berdiri disitu? Kita 'kan harus ke auditorium untuk upacara murid baru!" teriak Ela yang sudah berada jauh didepan kami bersama Darren yang kelihatan menahan tawanya. Aku pun segera berlari ketempat Ela dan Darren berdiri bersama dengan Mika ke gedung auditorium yang letaknya memang dibagian belakang sekolah ini.
***
Ketika sampai didalam gedung, sudah banyak orang yang mengerumuni ruangan yang luas ini. Gedung ini memang selalu digunakan saat perayaan yang diadakan sekolah, seperti festival budaya, hari kelulusan, dan acara-acara lainnya. Dari pintu masuk yang megah, tempat aku dan yang lainnya-Mika, Darren, dan Ela- berdiri sekarang, aku bisa melihat ratusan jejeran bangku yang dipenuhi oleh murid sekolah ini, baik murid baru maupun para senior. Kursi-kursi ini ditempatkan tepat didepan panggung yang biasanya dipakai sebagai tempat kepala sekolah bercerama sampai pertunjukan drama yang saat ini ditutupi olah tirai berwarna merah tua. Aku pun berusaha mencari tempat kosong untuk kami berempat. Tak lama, aku berhasil menemukan tempat duduk strategis yang masih kosong, bangku kelima dari depan dan dari sana, seluruh panggung dapat terlihat jelas.
"Hei, ayo duduk disana," ajakku pada ketiga temanku yang sibuk mencari tempat duduk juga.
"Lecy, matamu memang selalu bagus dalam keadaan seperti ini," puji Ela yang ada disampingku saat kami duduk di tempat yang kutemukan.
"Jadi, menurutmu mataku hanya cuma perlu digunakan disaat seperti ini?" candaku sambil memasang muka cemberut.
"Bukan begitu, maksudnya itu baik. Itu tandanya, lain kali kami tinggal menyerahkan tugas mencari tempat kosong padamu," sambung Darren yang berselisih tiga bangku dariku sambil tertawa nyegir.
"Sudahlah, kalian ini dari tadi ngobrol terus," keluh Mika yang duduk diantara Ela dan Darren.
"Iya, deh. Kata-kata nona Mika 'kan absolut," singgungku sambil sedikit tertawa. Mika sepertinya sedang kesal karena Darren bicara denganku. "Darren, paling tidak, ajak pacarmu itu bicara," sambungku. Muka Mika dan Darren tiba-tiba memerah mendengar bicaraku. Ela dan aku hanya tertawa cengir melihat tingkah laku pasangan yang canggung itu.
Tak lama kemudian, upacara permulaan tahun ajaran baru ini pun dimulai. Kepala sekolah kami mulai membuka pidatonya yang panjang lebar mulai dari sejarah sekolah ini sampai hal-hal yang sudah dicapainya. Aku berusaha untuk tidak mengantuk dan melirik ke sekeliling ruangan yang sangat luas ini. Disamping kananku, ada seorang murid cewek yang sepertinya anak baru juga sepertiku, bersama temannya yang juga duduk disampingnya. Mereka tampaknya tidak menghiraukan pidato kepala sekolah dan asik ngobrol sendiri.
"-demikian penjelasan saya tentang sekolah ini. Setelah ini, saya persilakan kepada ketua osis kita untuk menyampaikan sepatah-kata untuk kita semua."
Ketua osis yang dipanggil kepala sekolah itu pun naik keatas panggung dan bediri di podium. Sedangkan mataku hanya terbelalak melihat orang itu. Dia 'kan, orang yang tadi pagi menolongku!
"Selamat pagi, saya ucapkan pada para guru dan siswa/siswi yang ada diruangan ini. Perkenalkan nama saya Yandrix Larvyan-"
Otakku terus menerus mengulang apa yang dikatakannya barusan. Telingaku tampaknya tidak bisa meresap apa yang akan dikatakan oleh leaki gagah itu selanjutnya. Pantas saja, dia tahu namaku. Tapi, tidak mungkin 'kan kalau dia juga sampai mengingat wajahku? Tak lama kemudian, tiba-tiba matanya menghadap kearahku sehingga kedua pasang mata kami saling beradu. Hatiku pun berdegup kencang dan aku segera memalingkan wajahku dari tatapannya. Saat aku mencoba melihat kearahnya lagi, dia hanya tersenyum ringan.
Aku tidak pernah menyangka kalau hari-hari SMA-ku akan berubah karena hal yang kulalui hari ini.
To be continued...