Akhirnya, hari yang kunantikan sekian lama tiba juga. Hari ini adalah hari pertamaku untuk merasakan kehidupan SMA-ku dengan teman-teman baruku juga, tentu saja beberapa teman semasa SMP-ku juga ada yang satu sekolah denganku. Pagi ini, aku sengaja untuk bangun lebih pagi dari biasanya untuk mempersiapkan diriku lebih matang lagi. Aku sangat tidak sabar untuk merasakan kehidupan di sekolah yang baru ini.
Pertama, kenalkan, namaku Leycienna, biasanya aku dipanggil Lecy oleh teman-temanku. Mulai hari ini aku akan bersekolah di salah satu sekolah bertaraf internasional yang menjadi salah satu sekolah favorit di kota tempat tinggalku, Ethelburga School. Tentu saja, aku sangat senang dapat masuk kesana. Karena, biasanya hanya orang-orang yang pintar dan kaya yang bisa masuk kesana. Sedangkan aku, keluargaku layaknya seperti keluarga biasanya yang sederhana, ayah dan ibuku membuka toko kue yang dibuat oleh ayah dan didekorasi oleh ibu yang letaknya tepat disamping rumah kami. Meskipun tidak terlalu terkenal, tapi pelanggan setia kami cukup banyak. Untung saja aku rajin belajar sehingga aku berhasil mendapatkan beasiswa untuk sekolah disana sehingga aku tidak menyusahkan ayah dan ibu.
Aku masuk kesekolah ini tidak sendiri. Aku ditemani oleh ketiga sahabat baikku sejak SD dulu, Umika biasanya dipanggil Mika, seseorang berdarah campuran jepang-inggris yang hidup serba berkecukupan karena keluarganya yang memang berdarah bangsawan sejak dulu, Michaela, kami memanggilnya Ela yang selain pintar dalam bidang olahraga juga seorang model, pekerjaan part-time yang ditekuninya sejak dua tahun lalu yang membuatnya sangat populer dikalangan para remaja, dan terakhir saudara kembarnya Mila, Darren, satu-satunya cowok yang dekat denganku sejak SD.
Meskipun kondisi keuangan keluarga kami berbeda jauh, mereka tidak segan untuk berteman denganku. Mereka mengerti akan kekurangan dan kelebihanku serta membelaku saat aku sedang diusili oleh teman-teman SMP-ku. Bahkan saat aku pergi berkunjung kerumah Mika, keluarganya menyambutku dengan hangat dan malah menyuruhku untuk mengawasinya selama diluar rumah. Kontan, aku terkejut dengan pesan orangtuanya, yang langsung mempercayaiku untuk menjadi pengawas anak mereka itu.
Akupun segera mengambil kemeja putih yang dipakai dengan sweater tanpa lengan berwarna coklat muda dan rok motif kotak-kotak kecil berwarna coklat tua yang menutupi hingga lutut kakiku yang telah tergantung rapi disisi pintu kamar tidurku sejak kemarin malam. Setelah memakai seragamku ini, tidak lupa aku mengambil jas yang sewarna dengan rok-ku yang terletak diatas meja belajarku dan langsung memakainya. Kami memang diwajibkan untuk memakai jas pada saat-saat penting seperti pembukaan tahun ajaran baru atau hari kelulusan dan hari-hari penting lainnya.
Aku memandangi diriku dicermin panjang yang terletak disamping meja belajarku. Dari cermin, aku bisa melihat diriku yang tidak begitu cantik bila dibandingkan dengan Ela, rambut pirangku yang kubiarkan tumbuh panjang sejak kecil sekarang sudah sepanjang pahaku. Supaya tidak mengganggu, aku mengikat rambutku dengan pita favorit yang selama ini kupakai. Poni rambutku yang hampir saja menutupi alis dan mata coklatku kurapikan dengan menyisirnya kearah kanan belahan rambutku.
Setelah selesai bercermin, aku mengambil tas tangan yang berisi buku-buku pelajaran dan turun ke lantai satu untuk menyiapkan sarapanku melalui tangga didepan kamarku yang memang terletak dipojok rumah berlantai dua ini. Belum lagi kakiku menginjakkan lantai satu rumahku ini, aku sudah dapat mencium aroma susu dari roti bakar yang dibuat oleh ibuku. Segera aku berlari kearah dapur, yang terletak tidak jauh dari tangga, dan langsung mengambil sehelai roti dan memasukkannya kedalam mulutku.
“Lecy! Jangan langsung mengambil makanan begitu saja! ‘kan sudah ibu peringatkan berkali-kali. Kamu ini!“ tegur ibuku yang berada tepat dibelakangku.
Melihat tatapannya saja aku sudah takut. Kontan aku langsung berlari menuju meja makan. Disana, ayahku sedang membaca koran sambil meminum kopi dan adik laki-lakiku yang berumur 9 tahun sedang mengoleskan mentega pada roti tawarnya. Mendengar Teriakan ibuku, mereka pun menghentikan kegiatannya masing-masing dan menatapku.
“Sudahlah, Ma. Lecy, kali ini papa maafkan kamu karena hari ini hari pertamamu menjadi murid SMA, tapi lain kali, hukumanmu adalah membersihkan toko selama satu bulan“ kata ayah padaku dengan tatapan mautnya. Tentu saja membersihkan toko sendirian itu bukan hal yang menyenangkan bagiku.
“Baik, baik. Aku janji tidak akan melakukannya lagi, Yah, Bu“ ampunku pada kedua orang tuaku yang jika marah, dunia akan tampak seperti akan kiamat itu.
“Kamu terlalu memanjakan dia, Pa! Hukuman itu masih terlalu ringan“ kata ibuku pada ayah. “Lecy, kamu sudah menyiapkan segala keperluan untuk sekolah?“ sambungnya.
“Sudah, bu. Lihat, lihat! Aku cantik ‘gak pakai baju seragam ini?“ tanyaku pada ibu sambil berputar-putar didepan meja makan untuk memperlihatkan pakaianku pada ibu.
“Iya, kamu cocok ‘kok. Sudah, cepat sarapan sana!“ alih ibuku agar aku tidak terlalu kelihatan narsis, sepertinya.
“Kenapa pagi-pagi seperti ini, badai sudah menimpaku, sih ?“ keluh adikku yang sedang menyantap rotinya. Sudah pasti ‘badai‘ yang dimaksudnya itu adalah kegaduhan yang kutumbulkan.
“Als! Kamu ini!“ teriakku pada adikku yang bernama Alswein itu.
Pagi ini, lagi-lagi, sarapan pagi kami diiringi oleh canda tawa dan hal-hal lain layaknya pagi-pagi sebelumnya.
Tepat setelah aku menyelesaikan sarapanku, dari luar rumahku terdengar bunyi klakson mobil. ‘Itu pasti Mika,‘ pikirku. Mika memang selalu menjemputku karena rumah kami memang searah, berbeda dengan rumah Michael dan Darren yang berlawanan arah dengan kami. Karena itulah kami sangat jarang pergi kesekolah bersama-sama.
Aku segera berpamitan pada kedua orang tuaku dan tidak lupa mengelus rambut adikku, yang bersekolah di sebuah sekolah seni karena bakat menggambarnya. Mukanya tampak cuek sekali saat aku mengelus rambutnya yang berwarna coklat muda, tapi menurutku dalam hatinya dia senang.
Aku berlari kecil melewati lorong kecil yang menghubungkan pintu rumah dengan ruangan tamu. Segera kupakai kaos kaki putih sepanjang lutut dan sepatu hitam polos yang kusiapkan semalam. Saat kubuka pintu rumahku yang terbuat dari kayu oak dengan ukiran yang unik, Mika sedang menunggu didepan pintu gerbang rumahku yang terbuat dari besi dan jaraknya hanya sekitar dua-tiga meter dari tempatku berdiri.
Penampilannya sangat cantik apalagi dengan rambutnya yang berwarna coklat muda yang diurai hingga sepanjang dadanya. Bahkan meskipun baju kami sama, orang lain pasti tetap mengatakan kalau Mika sangat cantik, apalagi dengan kulitnya yang putih bersih seperti malaikat dan matanya yang berwarna coklat muda itu sangat bercahaya jika terkena cahaya matahari.
Saat kuhampiri, dia langsung memeluk dan menarikku masuk kedalam mobil seperti seorang pencuri yang mendapat santapan lezat.
“Lecy!! Aku kangen!!“ rengeknya padaku. Akupun tertawa, padahal kami bertemu 4 hari yang lalu tapi reaksinya padaku sudah seperti ini.
“Dasar!“
“Aku juga kangen sama Darren dan Ela. Ga sabar, nih, ketemu mereka“
“Ehem. Mereka? Darren atau Ela, nih?“ ejekku padanya. Mika dan Darren mulai berpacaran sejak akhir kelas 3 SMP kemarin, itu pun karena jasa Ela dan diriku yang mencomblangkan mereka.
Tersipu, muka Mika pun memerah seperti buah tomat matang, “LECY!“ teriaknya sambil memukulku berkali-kali dengan pelan.
***
Sesampainya didepan gerbang sekolah, ternyata Ela dan Darren sudah sampai dari tadi dan menunggu kami tiba. Ela sedang berdiri disamping Darren sambil membaca buku dengan dandanan biasanya yang simpel tapi sangat elegan, mata birunya yang ditutupi dengan kacamata tipis, yang hanya dipakainya kalau membaca buku, dan rambutnya yang diikat satu dengan pita yang sangat lucu. Aku yakin, banyak orang yang akan iri melihatnya. Sedangkan Darren, dengan seragam cowok yang hanya berbeda antara rok dan celana dengan seragam cewek, kelihatan sangat gagah dan dia pun berhasil mendapat simpati dari orang sekitarnya. Aku bisa merasakan kalau mereka berdua sedang menjadi bahan tontonan semua siswa yang mau masuk kedalam sekolah.
Mika keluar dari pintu mobil, ia pun langsung berlari kearah Darren sambil tersipu malu dan menutupi mukanya waktu Ela mengodanya. Aku yakin, saat ini mukanya pasti semerah buah delima matang. Aku pun keluar mobil dan berjalan kearah mereka. Entah kenapa, tiba-tiba kakiku terpeleset. Aku pun menutup mata karena tahu kalau aku pasti jatuh dan hal itu sangat memalukan terlebih lagi, ini didepan sekolah, semua orang pasti menatapku.